Selasa, 12 Februari 2008

Dian Sastro VS Anwar Fuadi


1036-010-20-1059[1].gifDian Sastro VS Anwar Fuadi

Menguji Sensor Film Indonesia di Tengah Arus Pornografi

Dian Sastro dan Anwar Fuadi, dua orang artis Indonesia yang sudah tak asing bagi kita, walau mungkin kita bukan penyimak setia infotainment, tapi dua nama tersebut sangat familier di telinga kita, Dian adalah dara cantik yang namanya melambung sejak berakting dalam film “Ada Apa dengan Cinta” dan telah banyak membintangi beberapa film dalam negeri, sosok satunya adalah aktor senior yang saat ini menjadi pengurus utama organisasi Persatuan Artis Indonesia.

Hari-hari ini infotainment menyorot tajam perseteruan keduanya, menyoal keberadaan Lembaga Sensor Film (LSF) dalam melakukan sensor terhadap proses pembuatan film Indonesia, masing-masing berada dalam barisannya sendiri. Dian Sastro dengan barisannya yang terdiri dari para seniman dan aktifis menilai penyensoran LSF terhadap pembuatan film Indonesia terlalu kakau sehingga menghambat pembuatan film yang berkualitas, karena ketika terdapat sedikit adegan “syur” lalu dipotong, beberapa artis mengungkapkan kekesalannya karena adegan hasil karya mereka dipotong, mereka menilai LSF terlalu kaku dalam penyensoran sehingga sebetulnya banyak adegan-adegan pendongkrak gairah yang tidak dapat ditampilkan sebagaimana originalnya.

Dalam hal ini Dian Sastro berapi-api dalam menyatakan pendapatnya tak ubahnya demonstran yang sedang berorasi, diantara seniman dan aktifis itu terdapat beberapa nama yang sudah akrab dengan layar kaca, Ratna Sarumpaet dan Riri Riza diantaranya. Mereka menilai bangsa jangan terlalu ini naif, memandang sebelah mata terhadap realitas masyarakat. Realitas kekerasan, penindasan dan eksploitasi berbasis seks. Mereka berpendapat bahwa satu-satunya cara agar masyarakat tahu akan relitas itu adalah dengan film sebagai media informasinya.

Pada barisan Anwar Fuadi sebagai wakil dari LSF menilai sensor film dilakukan untuk memilah mana adegan yang boleh dan mana yang tidak boleh ditayangkan, hal ini dilakukan untuk menjaga perfilman Indonesia tetap bemoral, hal ini tidak bisa lepas dari kenyataan bahwa Indonesia adalah negara timur, negara dengan etika dan nilai yang membudaya.

Apakah perseteruan itu bagian dari akting??? Agar terkesan para artis juga memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terekploitasi... Harapan kita tentunya tidak. Cukuplah kelihaian mereka berakting hanya dilakonkan dalam film, karena artis sebagai publik figur menjadi sorotan publik dan tidak sedikit yang mempunyai penggemar, secara otomatis ketika tokoh yang digemari muncul dalam layar kaca serta merta tindak tanduknya akan diperhatikan bahkan diikuti sebagai bukti kebanggan pada artis favoritnya.

Menurut hemat saya, tindakan LSF dalam melakukan sensor terhadap setiap film yang bakal ditayangkan dalam panggung layar kaca Indonesia sudah benar, selain karena memang itulah tugas LSF, pertimbangan kualitas tayangan TV untuk masyarakat sebagai konsumen juga harus diperhatikan. Tidak ada jaminan bahwa masyarakat mampu menyeleksi mana yang baik dan buruk, karena konsumen TV adalah masyarakat secara umum, mulai dari anak-anak hingga kakek-kakek dan tingkat pendidikan masyarakat yang berbeda juga akan mempengaruhi proses pemahaman suatu tayangan.

Kita tahu acara TV saat ini lebih bernuansa hiburan dan bisnis, sehingga tayangan yang mereka terima adalah manipulatif, persuasif dan konsumtif menuruti keinginan pencari keuntungan materi melalui bisnis media massa. Sedangkan tayangan yang bersifat mendidik sangat terbatas.

Tuntutan dari para seniman tidak semuanya keliru, keinginan berkreasi secara bebas merupakan hak setiap orang, tapi coba berpikir dan berkaryalah secara dewasa, mana yang layak disuguhkan dan mana yang tidak.

Kualitas acara TV yang buruk ini disertai dengan maraknya video porno dan film esek-esek tidak lulus sensor. Hal ini perlu disikapi secara ‘arif dan kritis, menuduh eksistensi LSF tidak efektif dalam penyelamatan moral bangsa dengan bukti LSF tidak mampu mencegah peyebaran video porno adalah pengkambing hitaman konyol dan partial thinking.

Peredaran video porno di negeri kita, bak banjir yang mendobrak jebol kanal penahan lalu bercerai berai hingga menutupi daratan, begitu mudahnya film porno dicopy dan didownload dari berjuta-juta situs internet kemudian digandakan untuk dijadikan lahan bisnis yang menggiurkan dengan konsumen yang siap menunggu. Di sini terlihat bahwa salah satu sisi negatif kebebasan informasi adalah internet menjadi national single window bagi arus penyebaran video-video tersebut, karena situs pornografi dapat di akses oleh siapa saja. Hayoo jangan coba-coba untuk buka lho...

Usaha kolektif semua pihak sangat diperlukan dalam mencegah peredaran film porno dan membuat karya yang berkualitas dan mendidik bagi bangsa. Usaha ini dilakukan dalam segala bidang; teknologi-informasi, dengan cara pembekuan dan pemblokiran situs pornografi. Bidang hukum dengan penegakan supremasi hukum yang tegas bagi pengedar dan pembuat film pornografi. Seniman dan produser film Indonesia melangkah bersama dalam membuat karya yang berkualitas, dan yang paling penting adalah pendidikan dalam tingkat apapun, terlebih lagi pendidikan keluarga yang dimulai dari diri sendiri. Perubahan memang tidak dapat kita cegah, berkembang seiring dengan bertambahnya usia jaman, tapi bukan berarti kita tidak bisa membentengi dengan tameng yang kuat, yaitu iman dan akhlak al karimah serta mengoptimalkan kemampuan untuk menciptakan karya yang positif, sehingga keinginan untuk terbawa ke arus negatif sedikit-demi-sedikit sirna.

Tidak ada komentar: