Minggu, 17 Februari 2008

Pengaruh Buruk Televisi

Sejatinya, media televisi berfungsi sebagai media komunikasi, informasi, dan dengan sendirinya pendidikan. Hal tersebut, tentu saja tidak ada yang kontroversi. Barulah pada sisi televisi sebagai media bisnis, silang pendapat muncul. Karena persepsi, perspekstif, dan kepentingannya kemudian bisa menjadi berbeda-beda.

Dalam bisnis, kata keramat yang diagung-agungkan, adalah mengeluarkan biaya serendah-rendahnya, dengan keuntungan setinggi-tingginya. Dalam konteks pertelevisian, dicari cara bagaimana menekan biaya produksi serendah-rendahnya, dan mencari iklan sebesar-besarnya.

Tentu saja, sesungguhnya, hal yang normal saja. Namun ketika demi bisnis terjadi eksploitasi berlebihan, azas keadilan menjadi terusik. Sisi perasaan publik terabaikan, dan itu yang harus dipersoalankan, justeru berkait dengan tingkat penetrasi media televisi yang tinggi.

Televisi tidak hanya memberikan ruang diplomasi virtual, tetapi juga menciptakan kesadaran baru. Tentu saja bisa baik, dan bisa buruk. Namun jika televisi dihadapi dengan ketidakkritisan, ia lebih cenderung berakibat buruk. Dan sayangnya, masyarakat Indonesia tidak berada dalam situasi imunitas yang baik pula. Setidaknya, daya ekonomi, daya nalar, daya persepsi, daya abstraksi, tidak terdukung dengan sistem kebudayaan yang memadai. Tingkat kesiapan dan keterdidikan masyarakat Indonesia, sangat rentan untuk mudah digoda.

Meski pun telah ada UU 32/2002 tentang Penyiaran. Meski pun telah ada turunannya berupa Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dikeluarkan KPI. Meski pun juga ada lembaga tandingan seperti KPPPT (Komisi Penegakan Pedoman Perilaku Televisi) yang didirikan oleh ATVSI. Pada praktiknya, masyarakat tetap dibiarkan sendiri tertatih-tatih dihajar habis-habisan oleh program acara televisi yang perilakunya tidak setertib pedomannya (baik dari KPI maupun KPPPT). Apalagi, ketika kode etik itu tidak memiliki sanksi hukum.

Di bawah ini, akan diuraikan pengaruh televisi kepada dunia anak-anak dan remaja. Keduanya, memiliki hubungan yang rentan, dan sensitif, pada televisi. Bukan berarti bahwa kelompok umur di luar itu tidak memiliki akibat. Namun dalam konteks struktur masyarakat mayoritas Indonesia, penetrasi media televisi tidak sekeras untuk keduanya. Apalagi jika hal tersebut dikaitkan dengan daya perlawanan, kedua kelompok penonton ini relatif lebih rendah.

Pengaruh Buruk Televisi pada Anak-Anak

Anak-anak adalah korban yang pertama, bagi masyarakat kaya maupun masyarakat miskin. Banyak kaum ibu profesional, perempuan karier yang mempunyai anak, melalui pembantu mereka, “menitipkan” anak mereka di depan televisi. Demikian juga ibu-ibu dari masyarakat miskin, juga mempercayai televisi sebagai “baby-sitter” yang baik. Karena anak-anak, akan cenderung diam, dan asyik masyuk memelototi televisi. Anak bisa ditinggalkan sendirian, sementara sang ibu melakukan aktivitas kesehariannya.

Televisi sebagai baby-sitter, tampaknya tidak masalah. Namun berbagai penelitian dan berbagai fakta menyebutkan, “meletakkan” anak-anak, apalagi dalam usia dini, sangat berbahaya, baik secara fisik dan psikis. Apalagi waktu berada di depan televisi, tergolong lama, karena bisa mencapai lebih dari dua jam berturut-turut, atau enam jam dalam sehari.

Anak di bawah dua tahun (dalam sebuah catatan penelitian sebuah akademi dokter anak di Amerika), yang dibiarkan orangtuanya menonton televisi, akan menerima pengaruh merugikan. Terutama pada perkembangan otak, emosi, sosial, dan kemampuan kognitif anak. Menonton televisi terlalu dini, bisa mengakibatkan proses wiring, proses penyambungan antara sel-sel syaraf dalam otak menjadi tidak sempurna (Rahmita P. Soendjojo: Bahaya Televisi bagi Syaraf Anak, Koran Tempo, 26 Desember 2004).

Ketika lahir, seorang bayi mempunyai 10 milyar sel dalam otaknya. Namun, sel-sel itu belum bersambung dan masih berdiri sendiri-sendiri. Agar berfunsgi, sel-sel tersebut harus saling berkait (wiring). Maksimalisasi proses tersebut dipengaruhi oleh pengalaman simulasi seperti gerakan, nyanyian, obrolan, serta gizi yang baik. Sementara itu, bayi atau anak yang berada di depan televisi, tidak akan memiliki pengalaman-pengalaman empirik yang cukup untuk membantu terjadinya proses wiring. Apalagi, televisi memberikan simulasi virtual dengan cara yang bersamaan dan cepat.

Proses pertumbuhan, membutuhkan tingkatan-tingkatan waktu, yang tidak bisa terjadi serempak. Simulasi harus dilakukan secara perlahan dan bertahap. Tidak bisa sekaligus, meski otak memang bekerja untuk melihat, meraba dan bergerak, dan aktivitas lainnya secara simultan. Namun, tetap saja dalam proses wiring, membutuhkan simulasi yang bertahap.

Gambar-gambar dalam media televisi, terdiri atas potongan-potongan gambar yang bergerak dan berubah cepat, zoom-out dan zoom-in yang intensif, dan kilas lampu yang sangat cepat di televisi, di samping sistem kemunculan gambar yang tidak kontinu, menjadikan pola kerja otak anak-anak akan dieksploitasi begitu rupa. Dunia virtual televisi, dengan loncatan waktunya, juga akan menganggu kemampuan konsentrasi anak.

Pada anak-anak yang lebih besar, pengaruh terlalu banyak menonton televisi akan berakibat pada kelambanan berbicara. Ini terjadi karena aktivitas menonton televisi tidak menggugah anak untuk berpikir. Apa yang disajikan televisi, sudah lengkap dengan gambar dan suaranya.

Hal tersebut akan sangat berbeda dengan radio. Seorang anak yang mendengarkan suara kambing mengembik di sebuah radio, misalnya, akan berpikir seperti apa bentuk kambing tersebut. Sedangkan di televisi, hal itu tidak terjadi, karena sudah disodorkan seperti apa sosok kambing tersebut.

Menyerahkan anak pada televisi, bukanlah tindakan yang bijaksana. Apalagi jika tindakan itu hanyalah bentuk pengalihan, agar orang dewasa terhindar dari beban menemani aktivitas anak. Apalagi dengan tidak memberinya kegiatan yang menarik buat mereka.

Menonton televisi bagi anak-anak, merupakan aktivitas pasif yang merugikan penyambungan sel-sel syaraf. Apalagi jika yang ditontonnya bukanlah acara yang diperuntukkan padanya. Sementara yang kita tahu, tidak ada aturan mengenai hal ini. Program untuk acara anak umur 0-2, 2-5, dan seterusnya, sama sekali tidak dikenal di Indonesia.

Semakin banyak tayangan yang bersifat kekerasan dan bias gender yang marak diprogram media televisi kita, dapat mendorong anak memiliki persepsi yang sama dengan yang dipresentasikan melalui tayangan tersebut. Bahkan, beberapa tayangan kartun yang disajikan khusus untuk anak-anak pun, tidak sedikit yang kental dengan adegan kekerasan dan seksisme.

Sudah banyak penelitian menyebutkan, semakin seorang anak mengkonsumsi televisi, semakin sama nilai yang dianutnya dengan tayangan-tayangan dari televisi. Anak yang sering menonton tayangan kekerasan, mempunyai perilaku yang lebih agresif. Sedangkan anak yang sering menonton tayangan seksisme, menjadi sangat membedakan peran dan perilaku antara perempuan dan laki-laki.

Televisi memang menawarkan serangkaian informasi dan hiburan. Namun tidak semuanya bermanfaat. Karena itu bagi anak-anak, batasi menonton televisi. Jika perlu, hindari sama sekali. Bagi anak dan remaja, semestinya ada pendampingan saat menonton televisi, dan jangan memfungsikan televisi sebagai baby-sitter.

Pengaruh Buruk Televisi pada Remaja

Meski lebih baik dalam proses penangkapan abstraksi yang ditayangkan oleh televisi, para remaja berada dalam situasi psikologis yang kritis dalam dirinya. Media televisi, demi berbagai perhitungan kepentingan dan keuntungannya, justeru memanfaatkan situasi ini.

Proses identifikasi yang memenuhi seluruh gerak dan impulsi remaja, justeru dimanfaatkan, atau dijinakkan oleh media televisi, untuk menciptakan ketergantungan. Remaja Indonesia cenderung dipaksa bukan menjadi dirinya, melainkan menjadi menurut kehendak kepentingan. Berbagai agenda kepentingan yang disodorkan padanya, adalah untuk menciptakan ketergantungan.

Hal ini akan menjadikan kaum remaja menjadi pribadi-pribadi yang lentur, tidak mempunyai pengalaman empirik untuk melakukan empati sosialnya. Pengaruh yang terbesar, akan menjadikan remaja menjadi pribadi-pribadi yang pasif, tidak memiliki keberanian berekspresi, karena media televisi telah memenuhi semua kebutuhan impulsinya.

Kenyataan sosial di sekitarnya, telah dikompres oleh media televisi dengan mereduksi kekayaan kemungkinan dan nilai yang terkandungnya. Remaja dengan demikian akan menjadi sangat tergantung, kehilangan daya imajinasi dan fantasinya. Apa yang diangankannya, bukanlah imajinasi dan fantasi dalam pengertian sebenarnya. Namun lebih dalam upaya mendapatkannya secara mudah, sebagaimana ia dilatih dan dibiasakan mendapatkannya secara virtual.

Berbagai tayangan sinetron dengan tema remaja, berkecenderungan mengeksploitasi kehidupan remaja dalam satu sisi semata. Kalau pun muncul plot cerita, terjadi simplifikasi, penyederhanaan dengan kasus-kasus yang sangat tipologis, mengabaikan sisi sosiologis dan psikologisnya. Akibatnya, remaja tidak memiliki kesempatan mempelajari hakikat kehidupan yang sebenarnya, selain hanya melihat yang serba artifisial. Berbagai kebetulan dan kemudahan dalam cerita, memberikannya kenyataan virtual dalam kesehariannya. Dan ketika kenyataan hidup lebih keras dari itu, remaja kita mudah patah dan kecewa.

Acara-acara kuis atau pun games, dan tayangan-tayangan lainnya, hanya menempatkan remaja sebagai obyek dari permainan-permainan itu. Televisi tidak secara utuh memberikan ruang pilihan dirinya sebagai subyek. Pengaruh yang kentara, remaja tak lebih hanya akan tertarik pada persoalan-persoalan dirinya, dan miskin dalam perilaku-perilaku sosialnya.

Demikian pula dalam pola pembentukan type idealitas. Media televisi bisa menjadi pelaku atau sekedar agen perantara, bagi munculnya konsep-konsep tertentu. Antara lain misalnya, perempuan yang cantik adalah perempuan yang berkulit putih, berambut panjang dan lurus, dan sejenisnya. Jika tidak kritis memaknai bujuk rayu tersebut, efek jangka panjangnya masa remaja akan mengalami eating-disorder (kelainan pola makan) seperti anorexia atau bulimia, gara-gara ingin menjadi perempuan ideal sebagaimana digambarkan media televisi.

Klik: Televisiana: Media Audio Visual Semesta Yogyakarta



Tidak ada komentar: