Selasa, 26 Februari 2008

KEBEBASAN DAN KESEIMBANGAN

Aku ajak kalian sejenak untuk berpikir merenungkan dan membayangkan jika masing-masing dari kita menjalani hidup dengan segala hak, kekuatan, kekuasaan dan kemampuan yang kita miliki, apakah kebebasan tersebut bisa kita dapatkan?

Setiap apapun yang kita perbuat (tinggalkan), baik itu baik ataupun buruk pasti akan meninggalkan akibat atau bekas yang tak akan berakhir begitu saja, bekas yang kita tinggalkan akan tetap berlangsung menjadi sesuatu yang baru dan terjadi terus menerus, kalau bekas yang kita buat tersebut baik dan bermanfaat bagi kebaikan, itu sangatlah mulia, tapi kalau yang kita tinggalkan adalah kejahatan, apakah itu mulia? Mari kita hitung kembali apa yang telah kita perbuat. “Haasibuu qobla an tuhaasabuu” hitunglah amalmu sebelum kau dihitung (dihisab).

Contoh yang mungkin sangat sepele adalah senyum, tebarkanlah senyum pada semua karena dengan senyum, bisa berarti sebagai pertanda awal bahwa kita menghormati seseorang, karena manusia mempunyai sifat dasar ego sentris yang membutuhkan keakuan dirinya diakui walau kadang tidak secara langsung diekspresikan kepada orang lain. Penghormatan melalui senyum akan sangat membantu hati seseorang agar suasana menjadi cair dan terbuka untuk melakukan interaksi lanjut yang lebih serius, mungkin hubungan kerja, hubungan sahabat bahkan hubungan pasangan hidup. Dari senyum saja kita bisa mengambil banyak manfa’at, karena senyum adalah perbuatan yang baik dan dianjurkan oleh Rasul SAW; “Sesungguhnya kami tersenyum dan tertawa kecil di hadapan orang-orang, walau sebetulnya hati kami mengingkarinya”.1 Contoh sebaliknya adalah ejekan, walau terlihat sepele jika ejekan dilakukan bukan pada tempatnya dan orang yang diejek tidak terima hal ini akian menyulut api permusuhan, dimulai dari iri, dengki, dendam bahkan sampai pada pembunuhan karena merasa dirinya tidak dihargai. Kalian semua tentu sering melihat berita kasus pembunuhan dengan motif seperti ini. Ketika terjadi pembunuhan lantas apakah masalah selesai dengan dipenjarakannya sipelaku? Tidak sesederhana itu teman. Dendam keluarga, atau dendam teman-teman korban yang tidak terima akan berlanjut sampai perdamaian antara mereka terwujud. Apakah damai bisa terwujud begitu saja? Ini juga masih menjadi persoalan. Maka dalam Islam diajarkan untuk tidak saling mengejek, mengolok-olok dan menghina antara yang satu dengan yang lain, karena bisa saja menyulut kebencian dan peperangan (lihat Q.S. Alhujuraat: 11)

Setiap apa yang kita buat memberikan akibat yang terus berlanjut, sesuai dengan apa yang kita berikan semula, apakah baik atau buruk semua terdapat pertanggung jawabannya.

siapa yang membantu tumbuhnya kebaikan, dia akan menerima bagian pahalanya. Dan siapapun yang yang membantu tumbuhnya kejahatan, diapun akan mendapatkan balasannya. Allah maha kuasa atas segala sesuatu” (Q.S. Annisa’: 85)

Disinilah kita perlu memperhatikan arti kebebasan dan keseimbangan. Sebenarnya kebebasan kita adalah sekedar untuk memenuhi kebutuhan kita yang telah dibebaskan oleh orang lain, begitu juga sebaliknya. Hal ini berarti kita terbatasi dalam ruang dan waktu oleh kebebasan orang lain selama kebebasan itu masih dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup secara wajar dan tidak menggangu kebebasan orang lain.

Kenapa kebebasan kita adalah kebebasan dari orang lain? Dan hanya kebebasan secara umum –wajar- itulah yang bebas kita dapatkan? Mari kita renungkan bahwa kehidupan butuh keseimbangan untuk memberikan hak-hak setiap orang dalam melakukan kebebasannya. Keseimbangan dalam menuntut hak dan melakukan kewajiban dalam hidup harus tetap terjaga agar keserasian hubungan kehidupan di alam ini dapat terus berjalan. Manusia butuh keserasian dengan manusia yang lain. Manusia butuh keserasian dengan alam dalam memanfaatkannya dan bukan mengeksploitasinya. Jika keserasian diabaikan demi menuruti keserakahan berdalih pemenuhan hak individu, dan tidak ada yang mampu mengontrol dan mengendalikannya, maka bencanalah balasannya.

Keseimbangan butuh aturan yang jelas dalam mengatur hubungan satu dengan yang lain. Aplikasi aturan itu terwujud dalam aturan hukum, baik hukum berdasar interpretasi manusia maupun hukum alam, atau yang disebut hukum moral oleh Emmanuel Kant.2 Hukum mengontrol hak dan kewajiban seseorang sebagai badan pegendali atas objek hukum, karena manusia bebas dengan akal dan nafsunya, maka tidak ada jaminan bahwa setiap orang mampu mengontrol nafsunya. Peran badan hukum menmjadi sangat penting untuk mengatasi ketidak serasian antara hak dan kewajiban.

Sebenarnya pengendali yang terbaik adalah diri kita sendiri, ketika setiap orang paham dengan hak dan kewajibannya, ia akan paham rel kehidupan yang harus ditempuh tanpa mencuri, menggangu hak orang lain. Tapi ide semacam hanya sebatas ide yang idealis, dalam realitas kehidupan sangat sulit terjadi karena sifat dasar manusia yang serakah. Dalam hal ini, baik hukum buatan manusia maupun hukum buatan Dzat Penghukum (Tuhan) menjadi perangkat yang sangat penting. Hukum memberikan imbalan bagi yang melakukan kewajibannya dan memberikan balasan bagi yang melanggar kewajibannya.

Bicara tentang hukum Tuhan atau, maka secara otomatis include ke dalamnya kewajiban manusia, kewajiban terhadap tuhan, terhadap sesama manusia dan terhadap alam. Kewajiban terhadap manusia dan terhadap alam, balasannya akan dirasakan cepat atau lambat dan balasan itu nyata dalam hidup kita. Adapun balasan tuhan, sering tidak dapat dirasakan secara nyata penjelasannya. Tapi yakinlah bahwa balasan itu pasti ada.

Mangapa kewajiban terhadap tuhan harus kita lakukan? Jawabannya adalah karena kewajiban kita terhadap tuhan adalah sebagai pengontrol yang sangat efektif bagi pelestarian keseimbangan hubungan manusia terhadap yang lain. Ketika ajaran tuhan menjadi keyakinan, maka otomatis menjadi pengontrol diri yang paling efektif bagi setiap orang. Sebagai contoh adalah perintah menunaikan sholat. Kenapa umat Islam wajib melaksanakan shalat dan wajib menebusnya ketika lalai menunaikannya dalam keadaan apapun, bahkan ketika sudah meninggal ahli warisnya berkewajiban mengganti solat tersebut? Karena solat sebagai pengendali setiap muslim dalam belajar mengetahui hak dan kewajibannya. Solat yang dilalaikan pada waktu yang lain harus ditebus dengan qodlo yang harus tetap dilakukan, karena ketika tidak ditebus berarti solat sebagai pengendali akan dilalaikan juga dan tak ada jaminan manusia akan hidup menjadi baik tanpa adanya pengontrol.

Sebelum kita menyerah pada pengendali di luar diri kita ,maka mari kita kendalikan diri kita, ketika kita bisa mengontrol diri kita sendiri, kita yang akan menentukan reward & punish bagi diri kita, hukuman itu bisa ringan karena hanya rasa bersalah tapi juga bisa sangat menyakitkan, yaitu penyesalan, suatu hal yang tidak bisa kita maafkan. Ketika kita tidak bisa menjadi pengendali diri, maka bersiaplah dikendalikan oleh hukum yang ada, dimana hukumanya sesuai dengan aturan mereka dan bisa jadi lebih menyeramkan.

Seberat apapun kewajiban dan hukuman itu harus tetap ada untuk menjaga keseimbangan. Pertanyaannya adalah sejauhmana kita bisa membuat hukum yang adil dan bisa menerapkan hukum dengan seadil-adilnya? Jawabannya adalah kita awali dengan diri kita sebagai pengontrol pribadi setelah kita berhasil maka mulai mentransformasikan pada yang lain, keberanian sangat dibutuhkan dalam mengakkan kebenaran sepahit apapun. Jangan takut... yang takut hanya cecurut.

Setiap kebaikan akan dibalas kebaikan bukanlah isapan jempol tapi nyata. Walau sekedar kebaikan yang kecil karena setiap kebaikan adalah sadaqah.3 Jangan pessimis terhadap ketimpangan yanga ada, karena hanya akan membuat kita skeptis dan apatis bahkan sinis dan ini sangat ironis sebagai manusia yang diberi akal.4 Jadilah pengontrol yang baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain demi wujudnya kebebasan dan keseimbangan yang harmoni.


1 Mustafa Muhammad ‘Imarah, Jawahir Al Bukhari, (Taha Putra : Semarang, 1940), hlm. 474.

2 Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Cetakan Kedelapan Belas (Mizan: Bandung, 2006), hlm 364

3 Mustafa Muhammad ‘Imarah, Jawahir Al Bukhari, (Taha Putra : Semarang, 1940), hlm. 465

4 PMII Sleman, Tradem, Tranformasi Demokratik, Edisi Ketujuh (PMII Sleman: yogyakarta, 2005), hlm. 110.

Minggu, 17 Februari 2008

Pengaruh Buruk Televisi

Sejatinya, media televisi berfungsi sebagai media komunikasi, informasi, dan dengan sendirinya pendidikan. Hal tersebut, tentu saja tidak ada yang kontroversi. Barulah pada sisi televisi sebagai media bisnis, silang pendapat muncul. Karena persepsi, perspekstif, dan kepentingannya kemudian bisa menjadi berbeda-beda.

Dalam bisnis, kata keramat yang diagung-agungkan, adalah mengeluarkan biaya serendah-rendahnya, dengan keuntungan setinggi-tingginya. Dalam konteks pertelevisian, dicari cara bagaimana menekan biaya produksi serendah-rendahnya, dan mencari iklan sebesar-besarnya.

Tentu saja, sesungguhnya, hal yang normal saja. Namun ketika demi bisnis terjadi eksploitasi berlebihan, azas keadilan menjadi terusik. Sisi perasaan publik terabaikan, dan itu yang harus dipersoalankan, justeru berkait dengan tingkat penetrasi media televisi yang tinggi.

Televisi tidak hanya memberikan ruang diplomasi virtual, tetapi juga menciptakan kesadaran baru. Tentu saja bisa baik, dan bisa buruk. Namun jika televisi dihadapi dengan ketidakkritisan, ia lebih cenderung berakibat buruk. Dan sayangnya, masyarakat Indonesia tidak berada dalam situasi imunitas yang baik pula. Setidaknya, daya ekonomi, daya nalar, daya persepsi, daya abstraksi, tidak terdukung dengan sistem kebudayaan yang memadai. Tingkat kesiapan dan keterdidikan masyarakat Indonesia, sangat rentan untuk mudah digoda.

Meski pun telah ada UU 32/2002 tentang Penyiaran. Meski pun telah ada turunannya berupa Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dikeluarkan KPI. Meski pun juga ada lembaga tandingan seperti KPPPT (Komisi Penegakan Pedoman Perilaku Televisi) yang didirikan oleh ATVSI. Pada praktiknya, masyarakat tetap dibiarkan sendiri tertatih-tatih dihajar habis-habisan oleh program acara televisi yang perilakunya tidak setertib pedomannya (baik dari KPI maupun KPPPT). Apalagi, ketika kode etik itu tidak memiliki sanksi hukum.

Di bawah ini, akan diuraikan pengaruh televisi kepada dunia anak-anak dan remaja. Keduanya, memiliki hubungan yang rentan, dan sensitif, pada televisi. Bukan berarti bahwa kelompok umur di luar itu tidak memiliki akibat. Namun dalam konteks struktur masyarakat mayoritas Indonesia, penetrasi media televisi tidak sekeras untuk keduanya. Apalagi jika hal tersebut dikaitkan dengan daya perlawanan, kedua kelompok penonton ini relatif lebih rendah.

Pengaruh Buruk Televisi pada Anak-Anak

Anak-anak adalah korban yang pertama, bagi masyarakat kaya maupun masyarakat miskin. Banyak kaum ibu profesional, perempuan karier yang mempunyai anak, melalui pembantu mereka, “menitipkan” anak mereka di depan televisi. Demikian juga ibu-ibu dari masyarakat miskin, juga mempercayai televisi sebagai “baby-sitter” yang baik. Karena anak-anak, akan cenderung diam, dan asyik masyuk memelototi televisi. Anak bisa ditinggalkan sendirian, sementara sang ibu melakukan aktivitas kesehariannya.

Televisi sebagai baby-sitter, tampaknya tidak masalah. Namun berbagai penelitian dan berbagai fakta menyebutkan, “meletakkan” anak-anak, apalagi dalam usia dini, sangat berbahaya, baik secara fisik dan psikis. Apalagi waktu berada di depan televisi, tergolong lama, karena bisa mencapai lebih dari dua jam berturut-turut, atau enam jam dalam sehari.

Anak di bawah dua tahun (dalam sebuah catatan penelitian sebuah akademi dokter anak di Amerika), yang dibiarkan orangtuanya menonton televisi, akan menerima pengaruh merugikan. Terutama pada perkembangan otak, emosi, sosial, dan kemampuan kognitif anak. Menonton televisi terlalu dini, bisa mengakibatkan proses wiring, proses penyambungan antara sel-sel syaraf dalam otak menjadi tidak sempurna (Rahmita P. Soendjojo: Bahaya Televisi bagi Syaraf Anak, Koran Tempo, 26 Desember 2004).

Ketika lahir, seorang bayi mempunyai 10 milyar sel dalam otaknya. Namun, sel-sel itu belum bersambung dan masih berdiri sendiri-sendiri. Agar berfunsgi, sel-sel tersebut harus saling berkait (wiring). Maksimalisasi proses tersebut dipengaruhi oleh pengalaman simulasi seperti gerakan, nyanyian, obrolan, serta gizi yang baik. Sementara itu, bayi atau anak yang berada di depan televisi, tidak akan memiliki pengalaman-pengalaman empirik yang cukup untuk membantu terjadinya proses wiring. Apalagi, televisi memberikan simulasi virtual dengan cara yang bersamaan dan cepat.

Proses pertumbuhan, membutuhkan tingkatan-tingkatan waktu, yang tidak bisa terjadi serempak. Simulasi harus dilakukan secara perlahan dan bertahap. Tidak bisa sekaligus, meski otak memang bekerja untuk melihat, meraba dan bergerak, dan aktivitas lainnya secara simultan. Namun, tetap saja dalam proses wiring, membutuhkan simulasi yang bertahap.

Gambar-gambar dalam media televisi, terdiri atas potongan-potongan gambar yang bergerak dan berubah cepat, zoom-out dan zoom-in yang intensif, dan kilas lampu yang sangat cepat di televisi, di samping sistem kemunculan gambar yang tidak kontinu, menjadikan pola kerja otak anak-anak akan dieksploitasi begitu rupa. Dunia virtual televisi, dengan loncatan waktunya, juga akan menganggu kemampuan konsentrasi anak.

Pada anak-anak yang lebih besar, pengaruh terlalu banyak menonton televisi akan berakibat pada kelambanan berbicara. Ini terjadi karena aktivitas menonton televisi tidak menggugah anak untuk berpikir. Apa yang disajikan televisi, sudah lengkap dengan gambar dan suaranya.

Hal tersebut akan sangat berbeda dengan radio. Seorang anak yang mendengarkan suara kambing mengembik di sebuah radio, misalnya, akan berpikir seperti apa bentuk kambing tersebut. Sedangkan di televisi, hal itu tidak terjadi, karena sudah disodorkan seperti apa sosok kambing tersebut.

Menyerahkan anak pada televisi, bukanlah tindakan yang bijaksana. Apalagi jika tindakan itu hanyalah bentuk pengalihan, agar orang dewasa terhindar dari beban menemani aktivitas anak. Apalagi dengan tidak memberinya kegiatan yang menarik buat mereka.

Menonton televisi bagi anak-anak, merupakan aktivitas pasif yang merugikan penyambungan sel-sel syaraf. Apalagi jika yang ditontonnya bukanlah acara yang diperuntukkan padanya. Sementara yang kita tahu, tidak ada aturan mengenai hal ini. Program untuk acara anak umur 0-2, 2-5, dan seterusnya, sama sekali tidak dikenal di Indonesia.

Semakin banyak tayangan yang bersifat kekerasan dan bias gender yang marak diprogram media televisi kita, dapat mendorong anak memiliki persepsi yang sama dengan yang dipresentasikan melalui tayangan tersebut. Bahkan, beberapa tayangan kartun yang disajikan khusus untuk anak-anak pun, tidak sedikit yang kental dengan adegan kekerasan dan seksisme.

Sudah banyak penelitian menyebutkan, semakin seorang anak mengkonsumsi televisi, semakin sama nilai yang dianutnya dengan tayangan-tayangan dari televisi. Anak yang sering menonton tayangan kekerasan, mempunyai perilaku yang lebih agresif. Sedangkan anak yang sering menonton tayangan seksisme, menjadi sangat membedakan peran dan perilaku antara perempuan dan laki-laki.

Televisi memang menawarkan serangkaian informasi dan hiburan. Namun tidak semuanya bermanfaat. Karena itu bagi anak-anak, batasi menonton televisi. Jika perlu, hindari sama sekali. Bagi anak dan remaja, semestinya ada pendampingan saat menonton televisi, dan jangan memfungsikan televisi sebagai baby-sitter.

Pengaruh Buruk Televisi pada Remaja

Meski lebih baik dalam proses penangkapan abstraksi yang ditayangkan oleh televisi, para remaja berada dalam situasi psikologis yang kritis dalam dirinya. Media televisi, demi berbagai perhitungan kepentingan dan keuntungannya, justeru memanfaatkan situasi ini.

Proses identifikasi yang memenuhi seluruh gerak dan impulsi remaja, justeru dimanfaatkan, atau dijinakkan oleh media televisi, untuk menciptakan ketergantungan. Remaja Indonesia cenderung dipaksa bukan menjadi dirinya, melainkan menjadi menurut kehendak kepentingan. Berbagai agenda kepentingan yang disodorkan padanya, adalah untuk menciptakan ketergantungan.

Hal ini akan menjadikan kaum remaja menjadi pribadi-pribadi yang lentur, tidak mempunyai pengalaman empirik untuk melakukan empati sosialnya. Pengaruh yang terbesar, akan menjadikan remaja menjadi pribadi-pribadi yang pasif, tidak memiliki keberanian berekspresi, karena media televisi telah memenuhi semua kebutuhan impulsinya.

Kenyataan sosial di sekitarnya, telah dikompres oleh media televisi dengan mereduksi kekayaan kemungkinan dan nilai yang terkandungnya. Remaja dengan demikian akan menjadi sangat tergantung, kehilangan daya imajinasi dan fantasinya. Apa yang diangankannya, bukanlah imajinasi dan fantasi dalam pengertian sebenarnya. Namun lebih dalam upaya mendapatkannya secara mudah, sebagaimana ia dilatih dan dibiasakan mendapatkannya secara virtual.

Berbagai tayangan sinetron dengan tema remaja, berkecenderungan mengeksploitasi kehidupan remaja dalam satu sisi semata. Kalau pun muncul plot cerita, terjadi simplifikasi, penyederhanaan dengan kasus-kasus yang sangat tipologis, mengabaikan sisi sosiologis dan psikologisnya. Akibatnya, remaja tidak memiliki kesempatan mempelajari hakikat kehidupan yang sebenarnya, selain hanya melihat yang serba artifisial. Berbagai kebetulan dan kemudahan dalam cerita, memberikannya kenyataan virtual dalam kesehariannya. Dan ketika kenyataan hidup lebih keras dari itu, remaja kita mudah patah dan kecewa.

Acara-acara kuis atau pun games, dan tayangan-tayangan lainnya, hanya menempatkan remaja sebagai obyek dari permainan-permainan itu. Televisi tidak secara utuh memberikan ruang pilihan dirinya sebagai subyek. Pengaruh yang kentara, remaja tak lebih hanya akan tertarik pada persoalan-persoalan dirinya, dan miskin dalam perilaku-perilaku sosialnya.

Demikian pula dalam pola pembentukan type idealitas. Media televisi bisa menjadi pelaku atau sekedar agen perantara, bagi munculnya konsep-konsep tertentu. Antara lain misalnya, perempuan yang cantik adalah perempuan yang berkulit putih, berambut panjang dan lurus, dan sejenisnya. Jika tidak kritis memaknai bujuk rayu tersebut, efek jangka panjangnya masa remaja akan mengalami eating-disorder (kelainan pola makan) seperti anorexia atau bulimia, gara-gara ingin menjadi perempuan ideal sebagaimana digambarkan media televisi.

Klik: Televisiana: Media Audio Visual Semesta Yogyakarta



MALU untuk MULIA


Samasekali tak ada niat untuk mengajari siapapun, ketika aku menuliskan cipratan dari uneg-unegku. Karena memang tak ada kapasitas apapun untuk menyampaikannya, hanya sebatas pernah mengetahui ihwal serpihan-serpihan ilmu yang kuperoleh dari lirih nyanyian angin malam, kocar-kacir dedaunan yang terbang dihempasnya, aliran air selokan belakang kos yang penuh aroma menusuk hidung, dari kerut kulit wajah orang-orang yang silih berganti aku jumpai, hingga uraian-uraian yang kudengar, kulihat, kubaca dari media yang berebut untuk tumbuh di muka bumi melebihi jutaan daun-daun yang tumbuh dari cabangya, padahal aku tak tahu apa yang mereka bawa apakah suatu kebenaran nyata ataukah hanya kebohongan yang terbalut poles kebenaran.

Terserah pada pembaca akan menilai, karena memang uneg-uneg ini bebas nilai, tapi aku yakin akan sesuatu yang kita semua miliki yaitu akal dan “hati”, dengan itu aku mengajak pembaca (yang mau mendengarkan) untuk kita gunakan semurni dan sedasar mungkin dalam merespon apapun di sekitar kita, termasuk cipratan uneg-uneg kecilku, namanya juga cipratan maka ya tentu saja hanya sedikit.

Bukan sebuah kritik terhadap kebijakan pemerintah yang serba runyam bikin Pecas Ndahe jika ikut mikir… bukan karya ilmiyah yang syarat dengan metodologi penelitian, bukan pula nasihat sakral yang secara implisit maupun eksplisit menghendaki pembaca untuk menerima dengan sami’na wa ato’na, tapi hanya sebatas penyampaian tentang malu,,,,

Mendapatkan semua yang kita inginkan adalah sifat manusia sebagai makhluk yang tak hanya di karuniai Allah dengan akal saja tapi juga dengan nafsu, jika nafsu telah mengendalikan setir cara kita berpikir dan bertindak, maka yang ada adalah perlombaan untuk mendapatkan keinginannya. Tidak berhenti di situ saja peran nafsu dalam mengompori pikiran piciknya, tapi berlanjut pada pengakuan bahwa dirinya lebih dari yang lain, lebih kaya , lebih pandai, lebih cantik, lebih takwa, lebih dermawan, lebih berkuasa, lebih bebas dari siapapun.

Ngebet untuk mendapatkan pengakuan inilah yang membuat masing-masing orang berlomba dengan cara membenarkan dan menghalalkan segala cara, tak adalagi rasa malu bahwa dirinya telah menjilati bokong dan kemaluan keserakahan hanya untuk pengakuan terhadap dirinya, padahal apalah arti sebuah kebebasan memeras orang lain jika hatinya selalu diperas oles rasa takutnya sendiri akan kehilangan semua yang dia punya, maka sebetulnya ia sangat kecil padahal kekuasaan dimiliknya, ia sangat takut padahal keamanan dan bodyguard mengelilinginya, akhirnya hidup dalam penjara ketakutan berteman setia ancaman kematian.

Orang yang bebas adalah orang yang memerdekakan hatinya dari keinginan untuk menguasai orang lain, karena setiap makhluk diciptakan dengan kebebasannya. Kebebasan yang tidak merenggut kebebasan orang lain, akan tetapi kebebasan untuk saling menghormati sesama. Kebebasan inilah yang akan mendatangkan kedamaian dalam hati dan ketrentaman diantara manusia.

Cara untuk membebaskan diri kita adalah dengan menghormati kebebasan orang lain dengan tidak mencuri haknya dan memberikan yang terbaik pada orang lain sekecil apapun, karena kebaikan tidak akan datang dengan sia-sia, melainkan datang sebagai sodaqah untuk diri sendiri dan orang lain, sebagaiman Riwayat Jabir bin Abdullah ra bahwa Nabi bersabda: “segala kebaikan adalah sodaqah” [ Jawahir al Bukhari, hal. 465] Akankah lebih baik kita berlomba menyenangkan diri kita dan orang lain dengan kebaikan dan cinta, karena balasan dari keduanya adalah hal serupa. Beda masalah jika kita berlomba mendapatkan kesenangan pribadi dengan menindas orang lain, balasannyapun akan serupa.

Mari kulo lan panjenengan sedoyo mulai membebaskan diri dengan pertama kali merasa malu pada diri kita, hitung apa yang tlah kita perbuat untuk diri kita dan orang lain, cinta yang semakin merekah, ataukah kebencian yang melahirkan kedengkian dan permusuhan? Apakah kita punya rasa malu pada Dzat yang Maha Mengawasi perbuatan kita, padahal Ia mengawasi setiap tindakan kita bahkan apa yang kita pikirkan. Mari kita mencoba menjadi pemalu dalam hal yang tiada manfa’at dan keburukan. Kita juga harus malu untuk sekedar memikirkannya. Yakinlah bahwa malu untuk membela kebaikan itu sangat mulia. Sebagaiman sabda Nabi: “malu tidak datang kecuali membawa kebaikan” [Jawahir al Bukhari, hal. 473].

Malu bukan berarti pengecut, karena yang dinamakan pengecut adalah orang yang malu melakukan kebaikan, kebenaran dan perintah syar’i, dan tidak malu jika melakukan kejahatan, kebohongan, dan perbuatan yang melanggar syar’i. Jadilah pemalu mulai saat ini, karena semakin banyak orang yang sudah kehilangan rasa malu dan memilih untuk dipermalukan oleh nafsunya. Banyak orang yang sudah kehilangan kehormatan demi kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan.

Semoga dengan malu pada diri sendiri, pada orang lain dan pada Allah, kehormatan kita selalu terjaga dalam naungan pertolongan-Nya. Amin…

Selasa, 12 Februari 2008

Dian Sastro VS Anwar Fuadi


1036-010-20-1059[1].gifDian Sastro VS Anwar Fuadi

Menguji Sensor Film Indonesia di Tengah Arus Pornografi

Dian Sastro dan Anwar Fuadi, dua orang artis Indonesia yang sudah tak asing bagi kita, walau mungkin kita bukan penyimak setia infotainment, tapi dua nama tersebut sangat familier di telinga kita, Dian adalah dara cantik yang namanya melambung sejak berakting dalam film “Ada Apa dengan Cinta” dan telah banyak membintangi beberapa film dalam negeri, sosok satunya adalah aktor senior yang saat ini menjadi pengurus utama organisasi Persatuan Artis Indonesia.

Hari-hari ini infotainment menyorot tajam perseteruan keduanya, menyoal keberadaan Lembaga Sensor Film (LSF) dalam melakukan sensor terhadap proses pembuatan film Indonesia, masing-masing berada dalam barisannya sendiri. Dian Sastro dengan barisannya yang terdiri dari para seniman dan aktifis menilai penyensoran LSF terhadap pembuatan film Indonesia terlalu kakau sehingga menghambat pembuatan film yang berkualitas, karena ketika terdapat sedikit adegan “syur” lalu dipotong, beberapa artis mengungkapkan kekesalannya karena adegan hasil karya mereka dipotong, mereka menilai LSF terlalu kaku dalam penyensoran sehingga sebetulnya banyak adegan-adegan pendongkrak gairah yang tidak dapat ditampilkan sebagaimana originalnya.

Dalam hal ini Dian Sastro berapi-api dalam menyatakan pendapatnya tak ubahnya demonstran yang sedang berorasi, diantara seniman dan aktifis itu terdapat beberapa nama yang sudah akrab dengan layar kaca, Ratna Sarumpaet dan Riri Riza diantaranya. Mereka menilai bangsa jangan terlalu ini naif, memandang sebelah mata terhadap realitas masyarakat. Realitas kekerasan, penindasan dan eksploitasi berbasis seks. Mereka berpendapat bahwa satu-satunya cara agar masyarakat tahu akan relitas itu adalah dengan film sebagai media informasinya.

Pada barisan Anwar Fuadi sebagai wakil dari LSF menilai sensor film dilakukan untuk memilah mana adegan yang boleh dan mana yang tidak boleh ditayangkan, hal ini dilakukan untuk menjaga perfilman Indonesia tetap bemoral, hal ini tidak bisa lepas dari kenyataan bahwa Indonesia adalah negara timur, negara dengan etika dan nilai yang membudaya.

Apakah perseteruan itu bagian dari akting??? Agar terkesan para artis juga memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terekploitasi... Harapan kita tentunya tidak. Cukuplah kelihaian mereka berakting hanya dilakonkan dalam film, karena artis sebagai publik figur menjadi sorotan publik dan tidak sedikit yang mempunyai penggemar, secara otomatis ketika tokoh yang digemari muncul dalam layar kaca serta merta tindak tanduknya akan diperhatikan bahkan diikuti sebagai bukti kebanggan pada artis favoritnya.

Menurut hemat saya, tindakan LSF dalam melakukan sensor terhadap setiap film yang bakal ditayangkan dalam panggung layar kaca Indonesia sudah benar, selain karena memang itulah tugas LSF, pertimbangan kualitas tayangan TV untuk masyarakat sebagai konsumen juga harus diperhatikan. Tidak ada jaminan bahwa masyarakat mampu menyeleksi mana yang baik dan buruk, karena konsumen TV adalah masyarakat secara umum, mulai dari anak-anak hingga kakek-kakek dan tingkat pendidikan masyarakat yang berbeda juga akan mempengaruhi proses pemahaman suatu tayangan.

Kita tahu acara TV saat ini lebih bernuansa hiburan dan bisnis, sehingga tayangan yang mereka terima adalah manipulatif, persuasif dan konsumtif menuruti keinginan pencari keuntungan materi melalui bisnis media massa. Sedangkan tayangan yang bersifat mendidik sangat terbatas.

Tuntutan dari para seniman tidak semuanya keliru, keinginan berkreasi secara bebas merupakan hak setiap orang, tapi coba berpikir dan berkaryalah secara dewasa, mana yang layak disuguhkan dan mana yang tidak.

Kualitas acara TV yang buruk ini disertai dengan maraknya video porno dan film esek-esek tidak lulus sensor. Hal ini perlu disikapi secara ‘arif dan kritis, menuduh eksistensi LSF tidak efektif dalam penyelamatan moral bangsa dengan bukti LSF tidak mampu mencegah peyebaran video porno adalah pengkambing hitaman konyol dan partial thinking.

Peredaran video porno di negeri kita, bak banjir yang mendobrak jebol kanal penahan lalu bercerai berai hingga menutupi daratan, begitu mudahnya film porno dicopy dan didownload dari berjuta-juta situs internet kemudian digandakan untuk dijadikan lahan bisnis yang menggiurkan dengan konsumen yang siap menunggu. Di sini terlihat bahwa salah satu sisi negatif kebebasan informasi adalah internet menjadi national single window bagi arus penyebaran video-video tersebut, karena situs pornografi dapat di akses oleh siapa saja. Hayoo jangan coba-coba untuk buka lho...

Usaha kolektif semua pihak sangat diperlukan dalam mencegah peredaran film porno dan membuat karya yang berkualitas dan mendidik bagi bangsa. Usaha ini dilakukan dalam segala bidang; teknologi-informasi, dengan cara pembekuan dan pemblokiran situs pornografi. Bidang hukum dengan penegakan supremasi hukum yang tegas bagi pengedar dan pembuat film pornografi. Seniman dan produser film Indonesia melangkah bersama dalam membuat karya yang berkualitas, dan yang paling penting adalah pendidikan dalam tingkat apapun, terlebih lagi pendidikan keluarga yang dimulai dari diri sendiri. Perubahan memang tidak dapat kita cegah, berkembang seiring dengan bertambahnya usia jaman, tapi bukan berarti kita tidak bisa membentengi dengan tameng yang kuat, yaitu iman dan akhlak al karimah serta mengoptimalkan kemampuan untuk menciptakan karya yang positif, sehingga keinginan untuk terbawa ke arus negatif sedikit-demi-sedikit sirna.