Selasa, 26 Februari 2008

KEBEBASAN DAN KESEIMBANGAN

Aku ajak kalian sejenak untuk berpikir merenungkan dan membayangkan jika masing-masing dari kita menjalani hidup dengan segala hak, kekuatan, kekuasaan dan kemampuan yang kita miliki, apakah kebebasan tersebut bisa kita dapatkan?

Setiap apapun yang kita perbuat (tinggalkan), baik itu baik ataupun buruk pasti akan meninggalkan akibat atau bekas yang tak akan berakhir begitu saja, bekas yang kita tinggalkan akan tetap berlangsung menjadi sesuatu yang baru dan terjadi terus menerus, kalau bekas yang kita buat tersebut baik dan bermanfaat bagi kebaikan, itu sangatlah mulia, tapi kalau yang kita tinggalkan adalah kejahatan, apakah itu mulia? Mari kita hitung kembali apa yang telah kita perbuat. “Haasibuu qobla an tuhaasabuu” hitunglah amalmu sebelum kau dihitung (dihisab).

Contoh yang mungkin sangat sepele adalah senyum, tebarkanlah senyum pada semua karena dengan senyum, bisa berarti sebagai pertanda awal bahwa kita menghormati seseorang, karena manusia mempunyai sifat dasar ego sentris yang membutuhkan keakuan dirinya diakui walau kadang tidak secara langsung diekspresikan kepada orang lain. Penghormatan melalui senyum akan sangat membantu hati seseorang agar suasana menjadi cair dan terbuka untuk melakukan interaksi lanjut yang lebih serius, mungkin hubungan kerja, hubungan sahabat bahkan hubungan pasangan hidup. Dari senyum saja kita bisa mengambil banyak manfa’at, karena senyum adalah perbuatan yang baik dan dianjurkan oleh Rasul SAW; “Sesungguhnya kami tersenyum dan tertawa kecil di hadapan orang-orang, walau sebetulnya hati kami mengingkarinya”.1 Contoh sebaliknya adalah ejekan, walau terlihat sepele jika ejekan dilakukan bukan pada tempatnya dan orang yang diejek tidak terima hal ini akian menyulut api permusuhan, dimulai dari iri, dengki, dendam bahkan sampai pada pembunuhan karena merasa dirinya tidak dihargai. Kalian semua tentu sering melihat berita kasus pembunuhan dengan motif seperti ini. Ketika terjadi pembunuhan lantas apakah masalah selesai dengan dipenjarakannya sipelaku? Tidak sesederhana itu teman. Dendam keluarga, atau dendam teman-teman korban yang tidak terima akan berlanjut sampai perdamaian antara mereka terwujud. Apakah damai bisa terwujud begitu saja? Ini juga masih menjadi persoalan. Maka dalam Islam diajarkan untuk tidak saling mengejek, mengolok-olok dan menghina antara yang satu dengan yang lain, karena bisa saja menyulut kebencian dan peperangan (lihat Q.S. Alhujuraat: 11)

Setiap apa yang kita buat memberikan akibat yang terus berlanjut, sesuai dengan apa yang kita berikan semula, apakah baik atau buruk semua terdapat pertanggung jawabannya.

siapa yang membantu tumbuhnya kebaikan, dia akan menerima bagian pahalanya. Dan siapapun yang yang membantu tumbuhnya kejahatan, diapun akan mendapatkan balasannya. Allah maha kuasa atas segala sesuatu” (Q.S. Annisa’: 85)

Disinilah kita perlu memperhatikan arti kebebasan dan keseimbangan. Sebenarnya kebebasan kita adalah sekedar untuk memenuhi kebutuhan kita yang telah dibebaskan oleh orang lain, begitu juga sebaliknya. Hal ini berarti kita terbatasi dalam ruang dan waktu oleh kebebasan orang lain selama kebebasan itu masih dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup secara wajar dan tidak menggangu kebebasan orang lain.

Kenapa kebebasan kita adalah kebebasan dari orang lain? Dan hanya kebebasan secara umum –wajar- itulah yang bebas kita dapatkan? Mari kita renungkan bahwa kehidupan butuh keseimbangan untuk memberikan hak-hak setiap orang dalam melakukan kebebasannya. Keseimbangan dalam menuntut hak dan melakukan kewajiban dalam hidup harus tetap terjaga agar keserasian hubungan kehidupan di alam ini dapat terus berjalan. Manusia butuh keserasian dengan manusia yang lain. Manusia butuh keserasian dengan alam dalam memanfaatkannya dan bukan mengeksploitasinya. Jika keserasian diabaikan demi menuruti keserakahan berdalih pemenuhan hak individu, dan tidak ada yang mampu mengontrol dan mengendalikannya, maka bencanalah balasannya.

Keseimbangan butuh aturan yang jelas dalam mengatur hubungan satu dengan yang lain. Aplikasi aturan itu terwujud dalam aturan hukum, baik hukum berdasar interpretasi manusia maupun hukum alam, atau yang disebut hukum moral oleh Emmanuel Kant.2 Hukum mengontrol hak dan kewajiban seseorang sebagai badan pegendali atas objek hukum, karena manusia bebas dengan akal dan nafsunya, maka tidak ada jaminan bahwa setiap orang mampu mengontrol nafsunya. Peran badan hukum menmjadi sangat penting untuk mengatasi ketidak serasian antara hak dan kewajiban.

Sebenarnya pengendali yang terbaik adalah diri kita sendiri, ketika setiap orang paham dengan hak dan kewajibannya, ia akan paham rel kehidupan yang harus ditempuh tanpa mencuri, menggangu hak orang lain. Tapi ide semacam hanya sebatas ide yang idealis, dalam realitas kehidupan sangat sulit terjadi karena sifat dasar manusia yang serakah. Dalam hal ini, baik hukum buatan manusia maupun hukum buatan Dzat Penghukum (Tuhan) menjadi perangkat yang sangat penting. Hukum memberikan imbalan bagi yang melakukan kewajibannya dan memberikan balasan bagi yang melanggar kewajibannya.

Bicara tentang hukum Tuhan atau, maka secara otomatis include ke dalamnya kewajiban manusia, kewajiban terhadap tuhan, terhadap sesama manusia dan terhadap alam. Kewajiban terhadap manusia dan terhadap alam, balasannya akan dirasakan cepat atau lambat dan balasan itu nyata dalam hidup kita. Adapun balasan tuhan, sering tidak dapat dirasakan secara nyata penjelasannya. Tapi yakinlah bahwa balasan itu pasti ada.

Mangapa kewajiban terhadap tuhan harus kita lakukan? Jawabannya adalah karena kewajiban kita terhadap tuhan adalah sebagai pengontrol yang sangat efektif bagi pelestarian keseimbangan hubungan manusia terhadap yang lain. Ketika ajaran tuhan menjadi keyakinan, maka otomatis menjadi pengontrol diri yang paling efektif bagi setiap orang. Sebagai contoh adalah perintah menunaikan sholat. Kenapa umat Islam wajib melaksanakan shalat dan wajib menebusnya ketika lalai menunaikannya dalam keadaan apapun, bahkan ketika sudah meninggal ahli warisnya berkewajiban mengganti solat tersebut? Karena solat sebagai pengendali setiap muslim dalam belajar mengetahui hak dan kewajibannya. Solat yang dilalaikan pada waktu yang lain harus ditebus dengan qodlo yang harus tetap dilakukan, karena ketika tidak ditebus berarti solat sebagai pengendali akan dilalaikan juga dan tak ada jaminan manusia akan hidup menjadi baik tanpa adanya pengontrol.

Sebelum kita menyerah pada pengendali di luar diri kita ,maka mari kita kendalikan diri kita, ketika kita bisa mengontrol diri kita sendiri, kita yang akan menentukan reward & punish bagi diri kita, hukuman itu bisa ringan karena hanya rasa bersalah tapi juga bisa sangat menyakitkan, yaitu penyesalan, suatu hal yang tidak bisa kita maafkan. Ketika kita tidak bisa menjadi pengendali diri, maka bersiaplah dikendalikan oleh hukum yang ada, dimana hukumanya sesuai dengan aturan mereka dan bisa jadi lebih menyeramkan.

Seberat apapun kewajiban dan hukuman itu harus tetap ada untuk menjaga keseimbangan. Pertanyaannya adalah sejauhmana kita bisa membuat hukum yang adil dan bisa menerapkan hukum dengan seadil-adilnya? Jawabannya adalah kita awali dengan diri kita sebagai pengontrol pribadi setelah kita berhasil maka mulai mentransformasikan pada yang lain, keberanian sangat dibutuhkan dalam mengakkan kebenaran sepahit apapun. Jangan takut... yang takut hanya cecurut.

Setiap kebaikan akan dibalas kebaikan bukanlah isapan jempol tapi nyata. Walau sekedar kebaikan yang kecil karena setiap kebaikan adalah sadaqah.3 Jangan pessimis terhadap ketimpangan yanga ada, karena hanya akan membuat kita skeptis dan apatis bahkan sinis dan ini sangat ironis sebagai manusia yang diberi akal.4 Jadilah pengontrol yang baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain demi wujudnya kebebasan dan keseimbangan yang harmoni.


1 Mustafa Muhammad ‘Imarah, Jawahir Al Bukhari, (Taha Putra : Semarang, 1940), hlm. 474.

2 Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Cetakan Kedelapan Belas (Mizan: Bandung, 2006), hlm 364

3 Mustafa Muhammad ‘Imarah, Jawahir Al Bukhari, (Taha Putra : Semarang, 1940), hlm. 465

4 PMII Sleman, Tradem, Tranformasi Demokratik, Edisi Ketujuh (PMII Sleman: yogyakarta, 2005), hlm. 110.

Tidak ada komentar: