Kamis, 17 Januari 2008

Netralitas Birokrasi dari Politik

Bicara mengenai fenomena birokrasi di Indonesia, mulai dari birokrasi pemerintah yang menjadi representasi rakyat misal, DPR, DPRD, gubernur sampai pada birokrasi pemerintah yang berfungsi sebagai aset ekonomi negara, seperti BUMN begitu ironis, karena ada tumpang tindih kepentingan politik. Birokrasi Indonesia termasuk dalam birokrasi terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999, Meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina, Vietnam dan India. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong melalui pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats).
Apakah birokrasi perlu berpolitik atau tidak, merupakan persoalan yang sering dibahas dalam studi ilmu politik. Untuk kasus Orde Baru, pada praktiknya birokrasi terlibat dalam kepengurusan dan pemenangan partai politik pemerintah. Kalangan aktor politik, para ilmuwan politik dan cendikiawan pun ada yang berbeda pandangan, ada yang menyatakan setuju (pro) dan ada yang menyatakan menolak (kontra) terhadap peran pegawai pemerintah dalam kehidupan politik.
Mereka yang setuju birokrasi boleh berpolitik antara lain mendasarkan diri pada asumsi dasar bahwa semua orang mempunyai hak memilih dan hak dipilih, tidak rasional membatasi peran politik birokrasi. Pembatasan hak merupakan tindakan pelanggaran HAM, khususnya soal hak-hak rakyat. Mereka yang kontra berpendapat gejala tumpang tindihnya peran sebagai pelayan masyarakat dan aktor politik sekaligus, baik dalam tingkatan perorangan maupun institusi birokrasi, diduga dan diyakini akan menyebabkan conflict of interest yang pada akhirnya akan merusak salah satu wadah tersebut, merusak kinerja birokrasi ataupun bisa merusak kehidupan politik, yang menciptakan pembusukan politik dalam jangka panjang. Praktik birokrasi di negara-negara berkembang menunjukkan, pemihakan birokrasi pada suatu partai politik telah memunculkan ketidakpuasan-ketidakpuasan politik, khususnya dari kalangan birokrasi itu sendiri.
Ada kecenderungan beberapa aspek negatif yang bisa dikemukakan, untuk dikaji ulang, sebagai dampak dari keberpihakkan birokrasi dalam politik di Indonesia. Pertama, terjadi keterpasungan pegawai birokrasi dalam kehidupan politik, khususnya akibat yang menimpanya jika memilih partai selain partai tertentu (Golkar). Saat itu, jika ada pegawai birorkasi yang memilih atau menjadi pengurus partai yang tidak ditentukan penguasa politik, harus keluar dari jajaran birokrasi. Kedua, keberpihakan birokrasi pada Golkar telah membawa ketakutan terhadap sebagian anggotanya, khususnya saat kampanye. Ketiga, keberpihakkan birorkasi pada Golkar lebih mengakibatkan ancaman-ancaman struktural ketimbang fungsional. Keempat, kecenderungan pelayanan birokrasi yang diskriminatif, baik dalam aspek administratif maupun pembangunan. Kelima, keberpihakkan birorkasi pada salah satu partai politik memperlemah profesionalisme organisasi pemerintahan.
Arah baru atau model reformasi birokrasi perlu dirancang untuk mendukung demokratisasi dan terbentuknya clean and good governance yaitu tumbuhnya pemerintahan yang rasional, melakukan transparansi dalam berbagai urusan publik, memiliki sikap kompetisi antar departemen dalam memberikan pelayanan, mendorong tegaknya hukum dan bersedia memberikan pertanggungjawaban terhadap publik (public accountibility) secara teratur. Antara lain: (1) Birokrasi Indonesia ke depan perlu mendukung dan melakukan peran pemberdayaan dan memerdekakan masyarakat untuk berkarya dan berkreatifitas. (2) Birokrasi bertindak profesional terhadap publik. Berperan menjadi pelayan masyarakat (public servent). (3) Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani masyarakat dengan pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian. (4) Birokrasi yang melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit and proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan nepotisme. (5) Birokrasi yang memberikan reward merit system (memberikan penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment kurang berjalan). (6) Birokrasi yang bersikap netralitas politik, tidak diskriminatif, tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan partai politik tertentu. Dengan demikian semoga dapat tercipta budaya bangsa yang displin dan profesinal.

Tidak ada komentar: