Senin, 21 Januari 2008

Relevansi Madzhab Hukum bagi Pengembangan Ilmu Hukum

Refleksi dan Relevansi Pemikiran Madzhab-Madzhab Hukum
Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
Oleh : M.Khoirur Rofiq
Abstrak
Beberapa pakar hukum mengungkapkan bahwa pada saat ini posisi hukum di Indonesia mengalami kemunduran. Hukum yang diharpkan dapat menjadi pendukung bagi perubahan masyarakat yang lebih baik ternyata hanyalah berupa aturan-aturan kosong yang tak mmpu menjawab persoalan dalam masyarakat. Hukum terkadang hanyalah menjadi legitimasi penguasa dlam melakukan keidakadilannya pada masyarakat. Dengan kata lain terdapat penyimpangan antara law in books dengan law in action.
Salah satu masalah yang menjadikan ketidak mampuan hukum ini adalah tentang Ilmu Hukum itu sendiri. Ilmui hukum yang telah diajarkan di pendidikan hukum Indonesia cenderung menganut salah satu madzhab/aliran hukum tertentu. Banyak pemikiran-pemikiran hukum yang didalamnya sangat jauh dari sosio kultur dan sosio religius bangsa Indonesia. Oleh karena itulah, diperlukan suatu pengembangan pemikiran ilmu hukum Indonesia baru yang nantinya diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan ssosoial bangsa Indonesia.

A. Pendahuluan
Dalam dunia keilmuan,teori menempati kedudukan yang vital. Ia akan memberikan sarana untuk bisa merangkum derta memahami masalah yang dibicarakan secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri ssendiri bisa di satukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Dengan demikian teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.
Teori juga bisa mengandung subyektifitas, apalagi berhadapan dengan suatu fenomena yang cukup kompleks, sseperti hokum. Oleh karen itulah muncul beberapa aliran atau madzhab dalam ilmu hukum sesuai dengan sudut pandang yang dipakai oleh orang-orang dalam aliran-aliran tersebut.[1] Dengan demikian teori-teori hokum yang sudah dikembangkan oleh masing-masing penganutnya akan memberikan kontribusi ke dalam pemikiran tentang tata cara memaknai ilmu hukum itu sendiri.
Bak seekor gajah yang diteliti oleh orang-orang buta, hukum memberikan banyak pengertian bagi para penelitinya. Orang buta yang meneliti gajah dari depan, maka akan memberikan definisi bahwa gajah itu berbentuk panjang dan bulat, hal ini sdikethui karena orang pertama tadi mendapatkan belalainya. Tetapi pengertian ini akan berbeda dengan orang buta kedua yang memberikan pengertian dari samping, begitujuga pengertian orang buta ketiga yang memberikan pengertian dari hasil penelitiannya dari arah belakang gajah. Teori-teori dalam ilmu hukumpun akan seluas dengan dengan pengertian hukum itu sendiri. Pengertiannya akan berbeda jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Permasalahannya adakah suatu wawasan yang komprehensif integral dalam memahami hukum sehingga dihasilkan pengertian yang sesuai dengan kenyataan.
Dalam tulisan ini sengaja tidak mempersoalkan perbedaan dari istilah madzhab atau aliran. Kata madzhab yang berasal dari bahasa Arab itu ditransformasikan ke dalam lingkup hukum (Islam) secara majaz yang kemudian diartikan aliran-aliran dalam hukum Islam. Namun kata ini juga mengalami transformasi ke dalam ilmu hukum secara umum. Oleh karena itu dalam tulisan ini kadang dipakai istilah madzhab. Sedangkan di tempat lain dipakai aliran dan adapula yang menggunakan istilah ajaran.
Dalam ilmu hukum dikenal beberapa madzhab yang berusaha memahami hukum itu dengan jelas. Adanya madzhab itu berarti mensyaratkan adanya pola pemikiran yang sama diantara ahli hukum dalam memahami fenomena hukum. Atau paling tidak, dalam unsur filsafati tentang hukum mereka mempunyai perspektif yang sama. Meskipun demikian seperti yang diungkapkan oleh Paton.[2] Ada beberapa pakar hukum terkemuka yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu madzhab tersebut. Kalau dipaksakan ke dalam salah satu yang telah ditentukan justru nantinya akan mempersulit pemahaman dan mengacaukan osbyeknya sendiri. Padahal tujuan penggolongan itu adkah untuk dapat memahami teori-teori dalam masing-masing madzhab secara lebih jelas dan mudah.

B. Permasalahan
Pengembangan hukum antara yang praktus dsan yang teoritis pada masa sekarang, terutama di Indonesia mengalami suatu paradigma pemikiran yang baru. Para ahli hukum di indonesia mempertanyakan kembali jarak antara law in books dengan law in action yang sudah cukup memprihatinkan. Menurut mereka hal ini bukan perssoalan yang sepele. Ketidak mampuan hukum dalam mengatasi masalah-masalah sosial di luar akan berakibat pada kewibawaan hukum itu sendiri. Masyarakat memberikan kepercayaan kepada hukum untuk dapat menyelesaikan konflik dan sengketa dalam lingkungan hidupnya. Terdapat contoh yang menarik berkaitan dengan hal ini. Sikap apriori masyarakat terhadap hukum dan krisis kepercayaan mereka terhadap aparat penegak hukum di jaman Orde Baru mengakibatkan tindakan pelampiasan dengan cara main hakim sendiri dalam menangani masalah sdi tengah kehidupan mereka. Kerusuhan, penjarahan, pembakaran merupakan pelampiasan mereka terhadap ketidak mampuan hukum dalam mengatasi permasalah-permasalahan sosial.
Satjipto raharjo bahkan sejak lama pernah mengungkapkan bahwa hukum mengalami kemandulan.[3] Mandul yang dimaksud disini adalah bahwa ilmu hukumtidak dapat mendukung arah perubahan dan dengan demikian tidak membantu usaha-usaha produktif yang sedang dijalankan oleh masyarakat. Masyarakat telah banyak memilih jalur-jalur di luar hukum untuk memecahkan permasalahan, konflik dan sengketa sosialnya. Sebagai contoh sudah banyak terjadi masyarakat memilih memberikan uang damai dengan polisi yang menilangnya daripada ia harus sdiproses melalui prosedur formal pengadilan.
Oleh sebab itu, untuk memberikan solusi bagi permasalahan sosial di atas muncul pertanyaan apakah ilmu hukum yang diajarkan di pendidikan hukum Indonesia itu masih sesuai denga perkembangan zaman dan sosio-kultur bangsa Indonesia. Adakah madzhab-madzhab dalam ilmu hukum yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia? Bagaiman refleksi dan relevansi madzhab-madzhab dalam ilmu hukum itu bagi pengembangan ilmu hukum nasional? Bagaimana metode refleksinya.

C. Kelemahan Ilmu Hukum barat dalam Konteks Indonesia
Perkembangan sejarah hukum di indonesia sejak memproklamirkan diri sebagai negara merdekalebih 50 tahun yang lalu, dihadapkan pada perubahan sosial dan pergeseran nilai didalamnya secara mondial. Berbagai hubungan manusia yang semula bersifat sosial berganti menjadi komersial. Di dalam pergaulan manusia dunia, intensitas hubungannya semakin erat didukung dengan teknologi komunikasi elektronik yang semakin canggih.
Sementara dibayang-banyangi adanya perubahan secara mendunia ini, di indonesia masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan sosial (social issues) seperti kemiskinan, pengangguran, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, kerusakan lingkungan hidup dan lain sebagainya. Dalam dinamika perkembangannya,ssocial issues tersebut menyebabkan ciri khas hukum yang stabil dan formal, pengembanan hukum praktis oleh aparat birokrasi pemerintahan dan para praktisi hukum serta pengembangan ilmu hkum yang jauh dari kenyataan. Seolah-olah hukum berada di dunia yang berbeda. Dengan kata lain, ada jarak diantara hukum dengan realitas-realitas sosial yang ada. Sebagai akibatnya hukum tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang diajukan kepadanya.
Secara nyata ilmu hukum yang diemban di Indonesia sebagaimana diajarkan di pendidikan-pendidikan hukum Indonesia dan yang dipraktekkan oleh praktisi hukum,baik pemerintah maupun swasta masih cenderung berparadigma positivistik. Menurut beberapa pakar hukum Indonesia, ilmu hukum demikian tidak sekuat dalam masyarakat yang sedang mengalami pembanmgunan hukum dan menjalani perubahan sosial.[4]
Sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh Soedirman Kartohadiprodjo[5] hukum ada untuk mewujudkan keadilan disamping ketertiban masyarakat.unsur keadilan yang meresapi keseluruhan bidang hukum berwujud penilaian manusia terhadap perilaku manusia dalam hubungannya dengan manusia lain dalam pergaulan hidup. Oleh karena itu, penilaian adil dan tidaknya suatu perbuatan akan ditentukan oleh pandangan manusia sesuai dengan tempat individu dalam pergaulan hidup, dengan demikian menjadi inti dari pandangan hidup yang dianut. Tata hukum dan cara berfikir yuridis sangat ditentukan atau sdiwarnai oleh pandangan hidup masyarakat. Dengan demikian cara berpikir yuridis yang diajarkan di Indonesia masih dipengaruhi oleh cara pandang bangsa barat (Belanda) mengenai hukum.
Ssdalah nsatu cara pandang bangsa Barat yang tidak sesuai dengan cara pandang bangsa Indonesia adalah sifat individualisme. Pandangan individualisme bangsa Barat munscul pada masa renaissance yang kemudian mengalami pergolakan dan perumusan kefilsafatan oleh para sarjana Barat seperti John Locke, Thomas Hobbes, Jean Jecques Rousseau dan Thomas Jefferson. Menurut Soedirman, individualistis mempunyai pandangan bahwa manusia diciptakan bebas dan sama, yang satu lepas dari yang lain dan manusia masing-masing mempunyai kekeuasaan yang penuh (men are created free and equal).
Bangsa Indonesia mempunyai pandangan yang jauh berbeda deangan pandangan bangsa Barat diatas. Manusia diiptakan oleh tuhan untuk hidup bersatu dengan manusia lain. Oleh karena itu, individu itu bersatu dengan linkungan sosialnya bahkan dengan alam sekitarnya.
Kekecewaan senada diungkapkan pula oleh Mochtar Kusumatmadja[6] bahwa pendidikan hukum kolonial ssbelanda diimplementasikan oleh para yuris Indonesia yang diperolhmelalui jalur pendidika hukum yang juga merupakan warisan koonial. Pendidika hukum kolonial di Indonseia zaman dahulu ditujukan hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kolonial sat itu dan ssebagai penopang konomi negara iduk. Padahal seharusnya para yuris di negara berkembang seperti Indonesia membutuhka pengetahuan antara hukum dan faktor-faktor pembangunan, norma-norma sosial dan institusi.menurut Satjipto Raharjo, pendidikan hukum seperti ini pada akhirnya menghasilkan sarjana-sarjan yang menguasai kmahiran sebagai tukang yaitu ahli hukum dan hanya mampu dan mahir menerapkan dan menafsirkan hukum positif.


D. Beberapa Penyebab Permasalahan
Pada akhirnya kekcewaan-kekcewaan yang dilontarkan oleh para pakar hukum Indonesia diatas berkisar pada pemikiran atas cara pandang Ilmu Hukum Barat yang tidak sesuai dengan carapandang bangsa Indonesia. Bangsa Barat pun mempunyai cara pandang yang berbeda-beda sesuai dimensi waktu dan tempat. Pandangan mereka terekam pada gagasan-gagasan tentang hukum yang kemudian disebut sebagai madzhab dalam Ilmu Hukum. Selanjutnya pemikiran tentang Ilmu Hukum itu dianut oleh para legis di negari Belanda. Hukum produk kolonial itu diajarkan kepada bangsa ononesia melalui pendidkan hukum. Dengan demikian pandangan berat yang terekam dalam produk hukumnya diterima oleh para yuris di Indonesia.
Pada konteks seperti ini Ilmu Hukum dan/atau cara pandang bangsa Barat dipaksakan untuk diterim oleh bangsa Indonesia. Penyamaan bangsa Barat dengan bangsa Indonesia mengenai Ilmu Hukum merupakan suatu pemerkosaan ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan, bangsa Indonesia yang sejak tahun 1945 telah menyatakan diri sebagai negara merdeka dari penjajahan bangsa asing, secara kenyataan masih harus menerima Ilmu Hukum dari bangsa Barat yang tidak sesuai dengan cara pandang bangsa Indonesia.
Sebagai ilmuwan tentunya kita tidak apriori dengan sesuatu yang datangya dario bangsa Barat. Akan tetapi sesuatu yang datang dari Barat dan tidak ssuai dengan jiwa bangsa Indonesia dan tetp dianut dan diajarkan di Indonesia jusstru tidak sejalan dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itulah, selayaknya ada usha ke arah pengembangan Ilmu Hukum Nasional yang searah dengan jiwa dan cita-cita bangsa Indonesia. Kemedekaan bangsa Indonesia merupakan kebebasan bangsa dan menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh bangsa lain.
Oleh karena itu untuk merefleksiskan dan merelevensikan madzhab-madzhab hukum yang berasal dari Barat itu bagi pengembangan Ilmu Hukum Nasional perlu dianalisis dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar, yaitu pertanyaan who (siapa), what (apakah), when (kapan), where (dimana), dan why (kenapa). Analisis dengan pertanyaan mendasar ini perlu dilakukan agar jangan sampai madzhab-madzhab dalam Ilmu Hukum yang kebanyakan berasal dari barat itu ditelan mentah-mentah oleh bangsa Indonesia.
Pertama, pertanyaan dengan kata tanya who menanyakan siapa tokoh-tokoh di belakang madzhab tersebut.dengan mempertanyakan pelaku ini dihasilkan pandangan integral mengenai latar belakang pelaku (tokoh madzhab), siapakah dia sebenarnya. Selama ini dalam literatur ilmu hukum atau filsafat hukum masih jarang, jika tidak dikatakan tidak ada sama sekali, yangmengadakan analisis dengan dua pertanyaan diatas. Padahal dengan tiga pertanyaan selanjutnya yaitu when (kapan pendapatnya dilontarkan) where (dimanakah pendapatnya itu dinyatakan) dan why (mengapa dia berpendapat seperti itu) akan lebih mempertajam peneliti hukum dalam penyeleksian madzhab-madzhab dalam ilmu hukum yang ada. Sangat disayangkan, kajian menyeluruh mengenai madzhab-madzhab hukum yang meliputi lima pertayaan diatas masih jarang dilakukan.
Sebagai contoh dengan pertanyaan where dan when, dapat ditemukan dinamika yang begitu luas. Sebagaimana diketahui, madzhab-madzhab hukum dalam kajian Filsafat Hukum dimulai sejak zamn Yunani Kuno (600 SM) sampai abad XX dengan tokoh-tokoh seperti Heraklitos, Parmenides, Plato, Aristoteles, memunculkan aliran seperti fenomenologi, ssseksistesialisme, dan teori-tori hukum alam.[7] Inipun masih berkembang dimasa-masa selanjutnya, dengan rentang waktu yang sdemikian lamanya (sekitar 2550 tahun) tentu agar berkembang pula corak, ragam dan karakternya. Sedangkan negara tempat munculnya teori itu juga sangat beragam. Hanya ada ssebagian kecil yang yang berasal dari luar Eropa, seperti China, Arab dan Amerika. Padahal tiap negara mempunyai garis politik, ciri pemerimtahan, sejarah negara dan kondisi sosial yang berbeda. Ini terbukti mempengaruhi pendapat para tokoh seperti terjadi pada Thomas Hobbes, Montesqiau, karl max dan lain-lain. Sekarang apakah Ilmu Hukum yang akan dikembangkan di Indonesia tetap seputar pada pemikiran-pemikiran tentang hukum seperti yang telah dilontarkan oleh mereka? Bagimanakah madzhab hukum insdonesia itu? Tentu saja jaaban ini tidak mudah dijawab. Pertayaan itu menuntut kita untuk mengkaji lebih dulu nilai-nilai filosofi bangsa Indonesia.

D. Metode dan Solusi
Merujuk pada madzhab-mdzhab Ilmu Hukum yang dikenal, ada beberapa cara melakukan refleksi dan relevansi terhadapnya. Metode yang demikian sangat diharapkan selalu memperhatikan konteks masyarakat yang ada. Bisa jadi pandangan seperti ini menimbulkan sikap apriori terhdap madzhab-madzhab itu. Namun pengetahuan para ahli hukum Insdonesia tidak mungkin akan meninggalkan pemikiran-pemikiran dari beberapa mdzhab itu secara total. Ajaran setiap madzhab merupakan pngetahuan dasar untuk menmgkontekstualisasikan pemikiran mereka sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Dari sini dapat diketahui bahwa pengembangan ilmu hukum itu dapat dilakukan dengan metode:
a. Memakai salah satu madzhab yang paling sesuai dengan pandangan bangsa Indonesi, metode seperti ini jarang dilakukan mengingat beberapa ajaran itu mungkin sesuai tetapi ajaran itu jauh dari keselarasan. Dengan kata lain ajaran dari suatu madzhab ada yang diterima ada yang tidak diterima.
b. Melakukannya dengan cara mengolah kembali pandangan-pandangan dalam madzhab itu serta menyesuaikannya dengan konteks sosial di Indonesia. Ibarat seorang koki yng menyuguhkan masakan bagi konsumennya, sang koki meracik bimbu yang sesuai dengan lidah konsumennya, begitu juga pakar hukum yang mengembangkan “masakan” ilmu hukum dari macam-macam “bumbu” madzhab hukum untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan “cita rasa” Indonesia.
c. Metode radikal yang dilakukan dengan membongkar ajaran-ajaran lama dan digantikan ajaran baru sama sekali dengan memperhatikan kondisi sosial Indonesia serta merumuskanya dalam ajaran yang disebut “Madzhab Indonesia”. Metode seperti ini sulit dilakukan karena pemikiran para pakar hukum indonesia tidak begitu saja lepas dari pengaruh pemikiran dari para ahli dari luar Indonesia.
Sebagaimana yang telah diungkapkan Mochtar Kusumatmaja, pengembangan hukum yang bercirikan Indonesia tidak saja dilakukan dengan mengoper begitu saja ilmu-ilmu hukum yang berasal dari luar dan yang diangap modern, tetapi juga tidak secar membabi buta mempertahankan yang asli. Keduanya harus berjalan selaras.
Dengan mengilhami dari teori law as a tool of engineering dari ajaran Roscoe pound yang beraliran yurisprudensi sosiologios mochtar kusumatmaja kemudian menganjurkan teoori hukum sebagai saranapembaharuan masyarakat.[8]beberapa karkteristik dari teori beliau yang membedakan dengan teori dari Roscoe Pound adalah:
a. Lebih menekankan peranan peraturan perundang-undangan dalam proses pembaharuan di Indonersia, sedangkan teori dari Roscoe Pound terutama ditujukan pada peranan pembaharuan terhadap putusan pengadilan,
b. Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan yang menolak penerapan mekanistis dari konsespsi law as a tool of sosial engineering. Penerapan secara mekanistis demikian yang digambrkn dengan kata tool akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dengan penerapan legisme yang dalam penerapannyadi Indonesia banya dikritik oleh banyak pihak.
c. Apabila ada pengertian hukum termasuk pula hukum internasional, maka Indonesia sebetulnya sudah menjalankan asas hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan secara rsmi sebagai landasan kebijaksanaan luhur.
Beberapa pendapat para pakar hukum Indonesia yang lain mempunyai pandangan yang tidak jauh berbeda bahwa pengembangan Ilmu Hukum Nasional harus didasarkan pada jiwa dn nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia. Soepomo, Moh. Kosnoe dan Sunaryati Hartono merupakan tokoh-tokoh yang gigih memperjuangkan hukum adat, sebagai hukum yang hidup, untuk dijadikan pijakan bagi pengembangan Ilmu Hukum Nasional.
Satjipto Raharjo memberikan catatan bahwa dalam mengkaji hukum adat ini tiodak dilakukan melalui jalur yang positivistis, normatis, legalistis karen dengan demikian akan memunculkan diskusi yang positivistis pula.[9] Tawaran beliau adalah melalui jalur keilmuan yaitu memberikan penekanan pada aspek metodologis dalam menggarap permasalahanya. Aspek metodologis ini diwakili dengan pengkajian secara anthropologis. Pemanfaatan studi anthropologis akan memberikan hasil atau keadaan yang mendekati real;itas yang ada di masyarakat.

F. Penutup
Berdasar kesimpulan diatas dapat ditarik ksimpulan bahwa permsalahn hukum di Indonesia muncul tidak lepas dari kelmahan hukum, pendidikan hukum dan sarana prasarana yang ada. Bila demikian, ilmu hukum pun dipertanyakan kembali. Konteks sosial negara Indonesia yang berlainan dengan sosial negara lain akan memberikan kesimpulan bahwa diperlukan pengembangan Ilmu Hukum Nasional yang lebih selaras dengan kondisi sosial Indonesia. Beberapa pakar hukum Indonesia telah mengadakan kajian mengenai permasalahan ini dan menyumbangkan pemikiran-pemikirannya tentang Ilmu Hukum Nasional.



DAFTAR PUSTAKA


Sidharta, Bernard Arief, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilfatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1999.

Rasdyidi, Lili dan Bernard Arief Sidharta, Filsafat Hukum Madzhab dan Refleksinya, Bandung: Rosdakarya,199.
Soemitro, Ronny Hanitjo, “ Madzhab-Madzhab dalam Ilmu Hukum dan beberapa Perspektif terhadap Hukum”, Jurnal Masalah-Msalah Hukum, Fakultas Universitas Diponegoro Semarang No. 4 Tahun 1990.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1991.
________, “Relevansi Hukum Adat dengan Modernisasi Hukum Kita”, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Yogyakarta: FH-UII,1998.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius,1993.
[1] Sutjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), p.253
[2] Ronny Hanitijo Soemitro, Madzhab-madzhab dalam Ilmu Hukum dan Beberapa Perspektif Dalam Ilmu Hukum, dalam Majalah Masalah-Masalah Hukum,(Semarang: Universitas Diponegoro,1990),p. 26.
[3] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, …..p. 135-138.

[4] Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum……,p. 80.bahan sosial. yang dialami ng berparadigma positivistik seperti yang diajarkan oleh Hans
[5] Ibid,p.172.
[6] Ibid,p. 174.
[7] Theo Huijbrs, Filsafat Hukum dan Lintasan Sejarah, (Yogyakrta: kkanisisus, 1993),p. 30.
[8] Ibid,p. 109
[9] Satjito Raharjo, Relevansi Hukum Adat dengan Modernisasi Hukum Kita, dalam Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1998),p. 168

1 komentar:

Zaki EL Fausie mengatakan...

kakean deskripsine dul,,di revisi dulu yah...ntar baru ta acc,key